Pameran Foto Virtual

Adanya pandemi Covid-19 yang sedang terjadi di seluruh dunia sekarang seakan memaksa seni untuk beradaptasi kepada bentuk-bentuk penyajian karya yang berbeda. Berbagai bentuk eksplorasi kesenian coba ditampilkan melalui platform digital, meskipun ujungnya semua berubah menjadi media audio visual. Banyak seniman yang melakukannya, dari mulai musik, teater, ilustrasi, apalagi yang memang bermain di ranah media rekam seperti film dan fotografi.

Dalam hal fotografi, penyajian karya secara online juga sudah dilakukan, seperti yang dilakukan oleh fotografer Steve McCurry di platform youtube miliknya yaitu SteveMccurryStudios. Seri kumpulan karya yang dirilis pada awal tahun 2020 dalam waktu berdekatan.1 Ada 4 empat paket karya foto yang ditampilkan, yaitu Everyday Heroes, Serenity, Food dan Reading dalam pameran daring ini.

Menikmati pameran Steve McCurry, ada beberapa hal yang cukup mengganggu. Salah satunya dengan adanya musik latar, yang menurut saya tidak dibuat secara khusus untuk karya, sehingga pergantian antar gambar menjadi kurang sesuai dengan beat dari musik. Selain itu, pergantian foto yang relatif cepat juga membuat pemirsa kurang bisa menghayati gambar yang ditampilkan.

Namun, berbeda dengan penyajian karya di media sosial yang hanya menampikan slideshow karya, bentuk penyajian karya seni secara online, juga sudah dilakukan oleh museum dan galeri seni di berbagai belahan dunia. 2 Sejumlah museum terkenal seperti Guggenheim Museum di New York juga Louvre dan Musée d’Orsay di Paris turut menawarkan tur online. Membuat para art lover tetap bisa menikmati karya seni kelas dunia, tanpa keluar dari rumah.

Selain institusi besar, beberapa penyelenggara pameran dalam skala yang lebih kecil juga mulai beradaptasi menawarkan cara baru untuk mendekatkan kesenian kepada pemirsanya. Salah satu pameran online yang sedang marak dilakukan adalah dengan membuat galeri atau ruang pameran virtual. Dengan teknologi, galeri atau ruang pertunjukan ditampilkan dalam bentuk 3D. Dibuat seakan-akan pengunjung benar-benar bisa merasakan seperti berada di dalam suatu ruangan pada umumnya.

Munculnya berbagai media digital, memang membuat kesenian mampu mencapai pemirsa yang lebih luas daripada sebelumnya dengan cara yang lebih mudah. Meski tidak hanya menyajikan pameran foto, namun dari sebuah artikel di situs berita republika, Co-Founder EventXtra Sum Wong mengatakan akibat pandemi, 90 persen kegiatan pameran skala besar terpaksa ditunda bahkan dibatalkan. Sedangkan sisanya menjadi virtual.

Situasi luar biasa akibat pandemi ini, yang membuat pameran virtual dapat menjadi solusi di tengah larangan berkerumun saat pembatasan sosial dan pembatasan fisik akibat pandemi Corona, seperti dalam pameran karya mahasiswa Program Studi Fotografi, Fakultas Seni Media Rekam, Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta angkatan 2019 melangsungkan pameran virtual berjudul Rona Rana 19.

Pameran tugas akhir Mata Kuliah Fotografi Hitam Putih yang berlangsung sejak 30 Juni tersebut dapat dinikmati di platform Artsteps. Pameran ini menampilkan 169 karya, di mana para peserta pameran menyajikan berbagai macam obyek, dengan teknik camera-less photography, yakni photogram dan contact print. Pameran berlangsung hingga tanggal 13 Juli dengan berbagai rangkaian acara di dalamnya, seperti diskusi dan artist talk.

Tidak berbeda dengan pameran di galeri pada umumnya, dalam pameran tugas akhir mahasiswa ISI ini, kita bisa masuk ke dalam sebuah galeri virtual dengan meng-klik tautan ini. Selain itu ada pilihan lain bagi pengguna telepon pintar atau gawai portabel lainnya, yaitu dengan mengunduh aplikasi Artsteps yang tersedia di Play Store dan App Store, tergantung dari alat yang kita miliki.

Dalam seremonial pembukaan pameran yang ditayangkan di kanal platform Youtube Fotografi ISI Yogyakarta (30/6), Dekan Fakultas Seni Media Rekam yang juga menjadi salah satu kurator pameran, Dr.Irwandi, M.Sn mengapresiasi para peserta pameran. “Malam ini saya sungguh bahagia bahwa kita bisa melakukan sebuah upaya yang bersejarah, di mana mata kuliah praktik yang sangat terkena dampak pandemi Covid-19 dapat kita selenggarakan dan tradisi berpameran tetap kita jaga,”

Meski bisa menikmati pameran di mana pun kita berada hanya dengan menggerakkan jari-jari kita, namun bukan berarti tidak ada halangan pagi pemirsa. Salah satu yang jadi kendala adalah koneksi internet. Dengan interface yang dinamis untuk memberikan pengalaman seperti melihat karya secara langsung, memerlukan data koneksi yang besar untuk mengaksesnya. Hal ini cukup memberikan jeda waktu untuk menikmati karya, karena pemirsa perlu menunggu kemunculan visual yang ditampilkan.

Tentunya ini yang menjadi perbedaan besar dalam menikmati pameran foto yang biasanya ditampilkan dalam bentuk fisik. Ukuran foto, pemilihan materi kertas, dan bentuk penyajian dalam pameran yang umumnya diadakan dalam sebuah ruangan sesungguhnya tentu membawa sensasi tersendiri, dibandingkan dengan melihat karya berformat digital. Koneksi dan interaksi terhadap karya yang ditampilkan menjadi sangat berbeda.

Meskipun masih ada kendala teknis yang muncul akibat perubahan dalam pengolahan dan penggarapan kesenian, namun hal ini perlu terus didorong untuk terus ke arah yang lebih baik. Karena di era digital, tidak hanya dalam tataran penciptaan, perubahan juga terjadi dalam tataran proses menikmati kesenian. Transformasi yang akan terus bergerak dengan hadirnya berbagai perkembangan teknologi.

Adaptasi kepada praktik-praktik ‘baru’ dan berbeda untuk menyajikan kesenian tentunya menjadi suatu yang mungkin tak terhindarkan. Praktik yang sudah seharusnya diikuti juga dengan perkembangan praktik dalam pendidikan kesenian, seperti yang dilakukan ISI Yogyakarta dengan pemeran virtualnya. Sebuah hal yang tidak hanya perlu diapresiasi, namun juga perlu diduplikasi agar bisa mendorong kreativitas lainnya. Karena seharusnya kesenian perlu terus bergerak dan tidak stagnan, serta selalu fluid mengikuti semua perubahan.