Nico Dharmajungen
Lahir di Jakarta pada tahun 1948, Nico Dharmajungen adalah seorang fotografer yang sudah malang melintang di dunia fotografi komersial di Indonesia selama lebih dari tiga dekade. Om Nico, begitu saya biasa menyebutnya telah banyak terlibat dalam pembuatan foto untuk iklan. Karya-karyanya sudah mengisi banyak halaman mode berbagai majalah di Indonesia maupun mancanegara. Dia pun telah berkeliling 5 benua dalam menjalani karir fotografinya. Banyak fotografer Indonesia yang menjadikan gaya fotonya sebagai referensi dalam berkarya.
Pada tahun 1967, Om Nico menetap di Jerman barat, tempat dirinya belajar fotografi. Ia berkisah, pertama kali dirinya belajar fotografi selama satu tahun dari Peter Busch. Dia lalu kemudian bersekolah di salah satu perguruan seni rupa, Hamburger Foto Schule selama setahun, pada tahun 1970-1971. Antara tahun 1971-1977, Om Nico kembali meneruskan pendidikan di sekolah Die Grafikschule Rolf Laute dan Hochschule fuer Bildende Kuense di Hamburg. Dia belajar seni rupa dan komunikasi visual. “Aku belajar Graphic Design 1 tahun, kemudian aku boring dan kembali lagi melukis, ujarnya.
5 tahun melukis, Om Nico kembali lagi menekuni fotografi, setelah merasa jenuh pada seni lukis yang diajarkan pada waktu itu. Menurutnya, kawan-kawan dikelasnya sudah banyak yang lebih hebat dibidang seni lukis sehingga dia memilih bidang lain. “Karena aku merasa kalau aku jadi pelukis aku biasa saja, di kelas itu banyak yang karyanya gila-gilaan”, tambahnya.
Berbekal kamera film pemberian ayahnya, lalu Om Nico berguru dengan seorang fotografer Amerika, Alan Ginsberg, yang sedang menetap di Jerman. Ia kemudian menjadi asisten bagi sastrawan-fotografer Amerika tersebut selama 5 tahun, mulai tahun 1976 hingga tahun 1980, sebelum memutuskan berani berkarir sendiri. Dia memulai karir sebagai juru foto lepas pada tahun 1981. Sejak itu karya-karyanya terbit di berbagai media massa terkemuka di Eropa, antara lain majalah Stern, dan Professional Photo Magazin (Jerman), dan Marie-Claire (Perancis).
Pulang ke Indonesia, Om Nico bekerja sama dengan studio periklanan Hitam Putih, dan membuka studio Day & Nite yang berlokasi di daerah Wijaya, Jakarta Selatan. Dengan studio ini ia mengerjakan penugasan dari berbagai perusahaan di Indonesia. Sejak tahun 1995 ia mendirikan studio Nico’s Photography. Gudang Garam, Sony Erickson, Red Liquid, Nivea adalah beberapa brand ternama yang pernah memakai jasanya.
Tidak hanya mengerjakan foto komersial, Om Nico juga merupakan seorang perupa foto. Ia aktif berpameran di berbagai ruang seni. Karyanya tentang besi tua yang berjudul “Heaven and Earth” pernah dipamerkan di Olympus Gallery Hamburg pada tahun 1989. Di tahun yang sama karya tersebut meraih hadiah khusus dalam penghargaan fotografi yang disponsori oleh Stahl Informationszentrum, sebuah pusat informasi tentang besi di Dusseldorf, Jerman.
Di Indonesia Om Nico juga pernah mengadakan pameran tunggal berjudul “Arkeologi Abad Mesin” pada tahun 1995 di Galeri Foto Jurnalistik Antara, Jakarta. Tiga tahun kemudian ia kembali berpameran tunggal dengan judul “I see, I feel, I never die” di Galeri Cahya, Jakarta. Ia juga kerap mengikuti beberapa pameran kolektif di beberapa hotel dan pusat kebudayaan asing di Jakarta.
Selain berpameran, karya om Nico juga sempat dibukukan. Bersama Oscar Motuloh, Yudhi Soerjoatmodjo, Darwis Triadi, dan beberapa fotografer kawakan lainnya, ia menyumbang karyanya untuk buku berjudul “Yang Tercinta”, atau “The Loved Ones”. Karyanya dalam buku ini juga turut dipamerkan dalam pameran berjudul sama di sebuah hotel di Jakarta.
Dalam “Yang Tercinta”, ia menampilkan karya yang sangat personal, potret orang-orang dalam perjalanan hidupnya, yaitu empat orang perempuan dan anaknya, Juan. “Mereka semua merupakan bagian-bagian penting dari hidup saya. Merekalah tempat saya mengeluh dan menemukan jawaban untuk berbagi pertanyaan, juga memberi saya pelajaran-pelajaran penting. Walaupun semua berakhir dengan perpisahan, masing-masing dari mereka meninggalkan bagian penting yang membuat diri saya lebih kaya”, tutupnya di dalam pengantar karya.
Di dalam buku, Om Nico bercerita, “Keempat perempuan ini telah menciptakan momen-momen yang mendorong semangat saya dan dengan mereka saya merasakan bentuk kehidupan yang berbeda”. Sementara foto-foto anaknya, Juan adalah bagian dari proyek khusus, yang dikerjakan sejak anaknya bayi. Waktu itu direncanakan akan dikerjakan hingga Juan berumur 18 tahun, dan akan menjadi kado ulang tahun.
“Berbeda dengan mereka yang membentuk sebagian diri saya, untuk saya Juan adalah bagian dari diri saya. Saya berusaha menjaga kedekatan saya dengan Juan karena saya sendiri meninggalkan Papa saya pada umur yang masih sangat muda.”, tambahnya dalam tulisan yang menyertai foto-foto yang dikerjakan dengan menggunakan kamera Polaroid dalam buku yang diterbitkan pada tahun 2005.
Baru-baru ini Om Nico juga turut serta dalam perhelatan Art Jog 2019. Ia memajang sembilan karyanya “Flores Vitae” atau “Flower of Life” yang digarapnya selama sepuluh tahun (1990 – 2000). Diprint di atas metal dengan teknik UV, seri Flores Vitae menunjukkan teknik fotografi tinggi yang dimiliki Om Nico di dalam proses penciptaannya. Om Nico menggunakan film large format (4 x 5 inci) dan film 35mm.
Dalam “Flores Vitae”, Om Nico kembali melakukan eksplorasi dalam berkarya. Bunga-bunga dalam seri tersebut ia tampilkan dengan sangat puitis. Kesan misterius juga berhasil ia suguhkan dalam karya yang dicetak dengan mengaplikasikan teknik cross-processing, sehingga berkontras tinggi dengan warna-warna yang artifisial. Style fotonya jauh berbeda dengan karyanya, seperti di “Arkeologi Abad Mesin”dan seri foto-foto hitam putihnya tentang Amerika yang ia tunjukkan saat saya berkunjung, Juli lalu.
Mengakhiri perbincangan, dia bilang ada tiga hal yang sangat prinsip dan harus dimiliki oleh seorang fotografer, yakni konsep, konten, dan konteks. Tiga prinsip ini yang sering ia ingatkan kepada para fotografer muda. Ketiganya sangat penting dimiliki oleh seorang fotografer dalam berkarya. Hal ini menjadi pelajaran penting, dalam perkembangan fotografi yang sangat dinamis di era digital ini.
Sore itu, Om Nico sempat mengantar saya ke gerbang saat saya akan pulang dari rumahnya, di bilangan daerah Pasar Minggu, Jakarta. Meski masih kurang sehat, ia sangat bersemangat untuk bisa berangkat ke Yogyakarta. Sebelum berpisah ia sempat mengutarakan harapan agar “Flores Vitae” laku di Art Jog, agar bisa untuk biaya perbaikan rumahnya.
Pameran Tunggal:
2012 – Body and Form di Salihara, Jakarta, Indonesia
1998 – I see, I feel, never die di Galeri Cahya, Jakarta, Indonesia
1995 – Arkeologi Abad Mesin di Galeri Foto Jurnalistik Antara, Jakarta, Indonesia
1989 – Heaven and Earth di Olympus Gallery Hamburg, Germany
Pameran Bersama:
2011 – Beyond Photorgraphy di Ciputra Artprenuers, Jakarta, Indonesia
2005 – The Loved Ones di Hotel Alila, Jakarta, Indonesia
2004 – Move and Still di Four Seasons Hotel, Jakarta, Indonesia
2002 – Untitled di QB Bookstore Jakarta, Indonesia
– Collages of Images Oktagon Gallery Jakarta, Indonesia
– Third Eye Duta Fine Art Gallery Jakarta, Indonesia
– In-Contro Instituto Italiano di Cultura Jakarta, Indonesia
2000 – Living with art I-Print di Galeri Cahya, Jakarta, Indonesia
1998 – Work of art Triadi P art di Hotel Mandarin Jakarta, Indonesia