PASAR

WAWASAN SOSIAL BUDAYA

Ketika diminta menulis tentang pasar, ingatan saya melayang ke Pasar Slipi Jaya, sebuah tempat yang cukup sering saya datangi sekitar 20 tahun silam. Sesuai namanya, pasar ini terletak di kawasan Slipi, Jakarta Barat. Sebelumnya pasar Slipi adalah pasar tradisional. Di era pertengahan tahun 1980, pasar Slipi masih berupa tanah becek sebelum kemudian Pasar Slipi dibangun tiga lantai pada tahun 1990.

Sebenarnya letak Slipi Jaya sangat jauh dari tempat tinggal saya kala itu. Kami sekeluarga tinggal di daerah Tangerang, yang waktu itu masih masuk di provinsi Jawa Barat. Namun, bisa dibilang paling tidak sebulan sekali kami pergi ke daerah Slipi, untuk mengunjungi adik ayah saya yang tinggal di Kemanggisan, cukup dekat dengan pasar Slipi Jaya.

Selain menjadi tempat membeli barang kebutuhan sehari-hari, tante saya juga mempunyai toko di Pasar Slipi Jaya. Dia berjualan kemeja dan perlengkapan baju muslim. Tokonya tidak terlalu besar. Saya ingat beberapa tetangga sebelah tokonya adalah penjahit, pedagang baju anak dan seragam sekolah. Saya sering ikut-ikutan berjualan di sana.

Seperti banyak pasar lainnya di daerah Jakarta, pasar Slipi Jaya menjual berbagai macam barang kebutuhan, mulai dari makanan, pakaian, hingga barang-barang elektronik. Hal ini menjadikan Slipi Jaya hampir tidak pernah sepi sepanjang hari.

Satu yang tidak dipunyai pasar lain pada saat itu, Slipi Jaya memiliki bioskop. Bioskop Prima namanya. Yang lebih keren, Slipi Jaya punya eskalator. Sepanjang ingatan saya, jarang ada pasar yang memiliki tangga berjalan. Bioskopnya pun adalah Bioskop jaringan 21. Jadi bukan bioskop yang hanya memutar film-film erotis atau film hantu saja. Memang tempatnya tidak sebagus bioskop yang ada di mall, tapi film yang diputar sama, film-film Hollywood. Tentunya dengan harga yang lebih murah.

Kami sekeluarga suka menonton di bioskop tersebut, terutama apabila keluarga besar kami sedang berkumpul di rumah tante.Salah satu film yang hobi ditonton oleh ayah saya adalah film kungfu. Saya pun ikut ketularan menggemarinya. Terutama film kungfu klasik yang ber-setting kerajaan, dengan baju-bajunya yang khas. Jet Li menjadi salah satu idola saya kala itu.

Selain ke bioskop, kami sekeluarga juga sering makan di Slipi Jaya. Menjelang malam, lahan parkir sudah berganti menjadi pusat makanan. Seperti food court yang ada di pusat perbelanjaan, berbagai makanan dapat kita jumpai. Saya biasa menunggu makanan sambil main perosotan di sela-sela eskalatornya.

Bioskop Slipi Jaya harus tutup pasca kerusuhan 1998. Kondisi bangunan pasar pun semakin tidak terawat, banyak bocor di sana sini. Bahkan atap di lantai 2 dan 3 sudah hampir roboh. Banyak kios kosong dan ditinggalkan pemiliknya. Para pedagang banyak yang mengeluhkan situasi pasar Slipi yang semakin memprihatinkan. Khususnya sejak masa pakai pasar sudah habis sejak tahun 2010.

Pasar Slipi perlu direnovasi untuk mengembalikan kejayaan pasar yang semakin sepi. Meski, mengutip dari pemberitaan di sindonews.com, dengan lokasinya yang strategis, Pemprov DKI menyatakan sayang jika di sana hanya dibangun pasar tradisional saja. Dalam rencana revitalisasinya, di lokasi pasar Slipi Jaya juga akan dibangun apartemen atau rumah susun.

Dirut PD Pasar Jaya, Arif Nasrudin, mengakui kondisi Pasar Slipi Jaya yang memang sudah tak layak lagi. Lantai bangunan yang bocor telah menyebabkan air turun saat hujan datang sehingga mengganggu kegiatan berdagang, dan membuatnya semakin sepi dan suram.

Selain kondisi pasar yang sudah parah, adanya tempat perbelanjaan modern yang lebih nyaman, yang berada dekat dengan Pasar Slipi sangat mempengaruhi surutnya jumlah pembeli. Hal ini dikatakan Sudar, seorang pedagang buah yang juga sudah 30 tahun berjualan. Padahal, Pasar Slipi menjadi tempatnya menggantungkan hidup. Sudar menikah, mempunyai anak, hingga memiliki cucu adalah dari hasil berjualan di pasar, katanya dalam sebuah artikel yang saya temukan di internet.

Dari kisah Sudar, tergambar bahwa pasar menjadi saksi perjalanan hidup manusia. Keberadaan pasar rakyat jangan hanya dilihat dari segi ekonomi, tapi juga banyak nilai lain yang bisa kita temukan lewat interaksi antara pembeli, penjual dan pengunjung yang sangat khas. Berbeda dengan saat kita berbelanja di mal, apalagi ketika belanja online. Ada pertukaran nilai sosial dan budaya di pasar. Lebih-lebih di pasar rakyat, seperti banyak pasar tradisional di berbagai daerah di Indonesia. Hal itu yang mungkin masih membuat keberadaannya bertahan, meski banyak juga yang tidak kuat melawan arus perkembangan zaman.

Disebutkan dalam buku Menguak Pasar Tradisional yang mengupas 10 pasar tradisional di Indonesia, disebutkan sebuah pasar tradisional adalah potret realitas suatu bangsa. Dari segi budaya bangsa, merupakan hasil budaya manusia secara individu ataupun komunal di suatu wilayah. Pasar merupakan realitas sosial yang menggambarkan identitas suku bangsa.

Potensi pun banyak terdapat di pasar rakyat. Keceriaan, kebersamaan, dan kehangatan ada di pasar rakyat. Pasar merupakan salah satu ruang publik yang harus dilestarikan. Pasar juga tidak harus selalu identik dengan orang tua. Contohnya pasar Santa, yang hingga kini menjadi salah satu pusat kreativitas alternatif anak muda, yang sempat sangat booming beberapa tahun belakangan. Saya termasuk yang sering mendatanginya.

Bagi saya pribadi, tidak hanya Slipi jaya, pasar yang meninggalkan banyak kenangan. Di setiap daerah, tempat saya pernah merantau, pasar menjadi salah satu tempat favorit untuk menjalankan kegiatan kesukaan saya, yaitu memotret. Ah, memang, pasar selalu meninggalkan nostalgia.

Sumber:
https://republika.co.id/berita/nj548r/kondisi-pasar-slipi-memprihatinkan-atap-di-lantai-tiga-sudah-jebol-5
https://alam-pelajaran.blogspot.com/2014/11/daftar-terlengkap-bioskop-21-yang-sudah.html
https://wartakota.tribunnews.com/2014/10/02/kondisi-pasar-slipi-jakarta-barat-memprihatinkan
https://poskotanews.com/2014/10/02/kondisi-pasar-slipi-memprihatinkan/