Belajar Visual Storytelling dari Wayang

Hari Wayang Nasional yang diperingati setiap tanggal 7 November, bukan hanya hanya sebuah penghargaan untuk wayang-wayang dari Jawa saja. Penghargaan ini dipersembahkan untuk semua bentuk visual storytelling tradisional yang hidup di berbagai suku dan daerah di Indonesia. Dari Wayang Golek di Tanah Pasundan hingga Hudoq di Bumi Dayak, semuanya itu merupakan medium untuk bertutur, menyampikan kearifan lokal dari leluhur untuk generasi berikutnya. Kreatifitas dalam sebuah proses transfer ilmu dan pewarisan budaya melalui visual storytelling, bisa selalu menjadi sebuah pembelajaran yang berharga untuk generasi sekarang dan generasi selanjutnya.

Melihat budaya wayang sebagai bentuk visual storytelling, membawa kita dalam pembelajaraan tentang sejarah bagaimana leluhur kita bertutur. Tahapan sejarah ini mungkin bisa berbeda untuk tiap suku atau daerah, namun bisa ditarik benang merah yang serupa. Di dalam kultur Jawa, seni bertutur pada awalnya berbentuk lisan. Seni bertutur lisan semacam ini masih bisa dilihat jejaknya pada Kesenian Muntiet yang ada di sekitar Banyumas. Kesenian ini bertutur dalam format mendongeng dan dialog, dengan iringan musik yang juga menggunakan suara manusia.

Pada perkembangan berikutnya, cerita-cerita leluhur dituturkan dalam pahatan relief yang ada di candi-candi. Di lingkup masyarakat umum yang hidup di waktu itu, cerita lisan masih menjadi sarana bertutur utama, sedangkan di kalangan bangsawan mengembangkan seni bertutur menuju media visual. Cerita Panji yang muncul di Kerajaan Kediri antara tahun 1042-1222, kisahnya terpahat dalam relief di Candi Penataran. Kisah-kisah dan ajaran spiritual di era Hindu-Budha juga bisa ditemukan pada relief berbagai candi. Relief Candi Prambanan mengkisah tentang Ramayana, Candi Borobudur berkisah tentang perjalanan Sidharta, Candi Sojiwan berkisah tentang fabel Jataka, dan Candi Sukuh berkisah tentang Sudamala. Bisa dikatakan, relief candi tersebut adalah bentuk cerita bergambar yang dihasilkan oleh para leluhur.

Candi sebagai tempat suci mempunyai keterbatasan dari sisi kemudahan dan kedekatan akses kepada masyarakat umum. Keterbatasan ini dijembatani dengan munculnya kesenian Wayang Beber, dimana visualisasi cerita seperti yang ada di relief candi, dilukis dalam gulungan kertas. Wayang Beber dibuat dari Pohon Daluang, dengan pewarnaan dari getah tanaman, kulit buah, kulit pohon atau mineral-mineral pewarna lainnya. Dalam satu gulungan Wayang Beber memuat satu potong adegan, yang biasanya berasal dari Cerita Panji. Memuat adegan cerita dalam gulungan-gulungan kertas memudahkan mobilitas karya tersebut, sehingga cerita bisa disimak oleh lebih banyak orang.

Jika Wayang Beber bisa diibaratkan seperti sebuah komik atau cerita bergambar, maka Wayang Kulit sudah menggunakan konsep-konsep penyajian karya audiovisual. Wayang digerakkan sesuai kebutuhan adegan dengan suara yang berbeda-beda mengikuti setiap karakternya. Ada ploting adegan dengan pembagian alur sampai klimaks cerita layaknya sebuah film. Gamelan dan suara para Waranggana ikut membangun cerita, bisa dengan syairnya yang menguatkan isi cerita, menciptakan ambience dari adegan atau mengiringi gerak para wayang saat menari dan berperang. Pada masa lampau Blencong atau lampu di atas layar pertunjukan wayang yang masih menggunakan lampu minyak. Gerak nyala lampu yang dinamis karena tertiup angin, menciptakan efek pencahayaan yang menguatkan visual dari adegan tokoh-tokoh wayang.

Pada era sekarang ini, bentuk penyajian wayang makin berkembang dan beragam bentuknya. Dari sisi media visualnya, bentuk baku wayang sudah banyak mengalami modifikasi. Ada wayang yang menampilkan figur tokoh-tokoh nasional dan selebritis, wayang yang disajikan dengan musik hip-hop, wayang disajikan dalam format animasi, wayang dalam bentuk komik dan berbagai bentuk kreatifitas lainnya. Dari sisi isi cerita juga banyak mengalami modifikasi sesuai dengan kondisi zaman. Sejak awal, Wayang kulit sendiri ceritanya memodifikasi dari kisah Mahabarata dan Ramayana, dengan penambahan tokoh dan kisah yang disesuaikan dengan kultur Jawa.  Sekarang ini modifikasi bisa lebih bebas dari pakem-pakem awalnya, sehingga bukan hal yang aneh kalau ada cerita wayang yang menampilkan Yudhistira berpindah kepercayaan, saat mengakhiri pertapaannya yang sangat lama sampai di era Kerajaan Demak.

Penyampaian pesan-pesan dengan media visual storytelling berupa wayang, telah banyak mengalami perubahan seiring dengan laju zaman. Banyak modifikasi dilakukan, namun masih ada mereka yang menjaga kelestarian pakem awal sehingga generasi sekarang tidak kehilangan lacak terhadap akar dari kesenian tersebut. Dibalik semua perkembangan tersebut, kekuatan terbesar wayang untuk terus hidup melintasi gerak zaman adalah pengemasan sajian ceritanya yang selalu menyeimbangkan antara tontonan dan tuntunan. Keseimbangan antara sisi hiburan dengan penyampaian pesan kebijaksanaan yang bisa selaras, membuat wayang tampil sebuah media visual storytelling yang efektif. Hiburan dalam konteks ini bukan sekedar rasa senang pada adegan yang ditampilkan atau tertawa pada humor yang disajikan, tapi juga rasa kagum terhadap seluruh sisi estetika dari pertunjukan. Format yang dikreasikan oleh para leluhur ini bisa diaplikasi jika ingin membuat karya-karya lainnya yang mempunyai intensi untuk menyampaikan pesan-pesan tertentu.