Foto Pranikah

FOTO PRANIKAH

Fotografi begitu dekat dengan kehidupan manusia modern saat ini. Bagaimana tidak, dengan adanya teknologi digital dan sosial media, kita merasa dituntut untuk selalu mendokumentasikan setiap menit hidup kita dan membagikannya di media sosial. Pada dasarnya fotografi adalah kegiatan merekam dan memanipulasi cahaya untuk mendapatkan hasil yang kita inginkan. Fotografi dapat dikategorikan sebagai teknik dan seni (Sudjojo, 2010).

Kehadiran teknologi di era digital memberi gambaran bahwa fotografi sudah menjadi bagian dari budaya sehari-hari. Setiap hari miliaran foto dihasilkan di seluruh dunia. Manusia mendokumentasikan seluruh kegiatannya, mulai dari pagi hari sesaat setelah bangun tidur, ketika melakukan semua aktivitas, hingga sebelum harus beristirahat kembali. Dalam perkembangannya, selain menjadi metode untuk menangkap citra sebuah realitas, fotografi juga merupakan karya visual berwujud citra atau kesan yang berisi informasi atau pesan.

Revolusi kamera digital, bersama dengan ledakan pertumbuhan internet memiliki pengaruh besar pada fotografi. Menurut fotografer, Ray Bactiar Dradjat, “Lahirnya teknologi digital menawarkan cara mewujudkan perupaan baru. Tidak berhenti sampai di sana, berubahnya praktik fotografi pun membuat pergeseran paradigma konsep fotografi, lebih kepada makna atau peran kultural. Salah satu tren fotografi yang berkembang adalah fotografi dalam rangkaian acara upacara pernikahan, yang disebut dengan foto pre-wedding.

Foto Pranikah (Pre-wedding Photography)

Pernikahan adalah suatu hal yang sakral dan menjadi bagian penting dalam proses perkembangan manusia dalam kehidupan. Sebuah peristiwa penting yang mempersatukan dua insan. Pernikahan juga menjadi sebuah momen yang paling ditunggu untuk semua orang. Oleh sebab itu, momen tersebut perlu diabadikan. Dalam budaya pernikahan dewasa yang terus berkembang dalam segala aspeknya, salah satu yang jamak dilakukan adalah foto prewedding.

Pre-wedding photography (selanjutnya saya sebut foto pranikah) adalah sesi foto atau kegiatan pemotretan yang dilakukan sebelum acara pernikahan resmi berlangsung. Foto pranikah bisa berupa foto dokumentasi sebuah acara adat sebelum pernikahan, foto dokumentasi pertunangan, maupun foto pose yang selama ini banyak dilakukan pasangan yang akan menikah. Beberapa konsep foto pranikah yang berkembang dalam beberapa tahun belakangan, di antaranya adalah tradisional, kasual, glamor, dan sesi foto yang mengandalkan destinasi. Umumnya menonjolkan pakaian dan latar tempat lokasi foto diambil.

Seiring berjalannya waktu, banyak yang kemudian menganggap bahwa foto pranikah berarti foto dengan suatu konsep yang dipersiapkan khusus di sebuah lokasi. Meskipun pada dasarnya adalah sama, yaitu berfoto berdua dengan pose manis nan romantis. Umumnya, digunakan dalam undangan, dipajang di lokasi resepsi pernikahan, atau juga tampak pada suvenir yang dibagikan kepada para tamu yang hadir, dan tentu saja untuk mengisi lini masa media sosial. Hingga saat ini kegiatan foto pre-wedding menjadi fenomena sosial yang menggejala sekaligus fenomenal.

Fenomena Foto Pranikah

Meski bukan hal wajib, nyatanya banyak pasangan muda yang menyambut pernikahan dengan melakukan foto pra-nikah. Sebagian orang bahkan rela mengalokasikan dana cukup besar untuk foto pra-nikah karena ingin mengambilnya di luar kota atau bahkan luar negeri. Foto pra-nikah seolah sudah menjadi salah satu bagian penting dari sebuah persiapan pernikahan.
Fenomena ini membuat industri foto perkawinan terus berkembang. Padahal sebenarnya istilah foto pre-wedding hanya ada di Indonesia. Sementara di luar negeri, hanya ada foto saat resepsi pernikahan atau wedding photoshoot dan foto sebelum pernikahan yang disebut engagement photoshot.

Fotografer Darwis Triadi menyampaikan, fenomena foto pra-nikah berkaitan dengan kebiasaan-kebiasaan pada hari pernikahan. Pesta pernikahan di Indonesia biasanya dihadiri tamu yang jumlahnya mencapai ratusan bahkan ribuan. Dalam situasi tersebut foto pra-nikah yang disajikan, berfungsi agar para tamu tidak bosan saat mengantre untuk bersalaman.

Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa foto pra-nikah menjadi fenomena bukan semata karena kepentingan pasangan tetapi juga didorong oleh pihak-pihak lain yang berkepentingan dengannya seperti fotografer, dan wedding organizer. Dalam beberapa kasus, foto pranikah bahkan sudah termasuk dalam paket penawaran dari gedung tempat pelaksanaan resepsi. Di mana kalau tidak diambil, biaya itu tetap harus ditebus oleh pasangan. Daripada menambah biaya pakai fotografer lain, mau tidak mau diambil juga, daripada harus merugi.

Selain itu media juga mempunyai andil besar terhadap budaya yang mengecoh ini. Max Horkheimer dan Theodor W. Adorno berargumen, “Bagi konsumen tidak ada lagi yang tersisa untuk dipilih, karena klasifikasi telah dilakukan oleh skema produksi” (Noerr, 2002). Menurut Horkheimer dan Adorno, kesadaran kita atas sesuatu yang baik telah dimanipulasi oleh mesin ekonomi raksasa demi keuntungan bisnis. (Wijaya 2018:46)

Budaya Foto Pranikah di Indonesia

Di era post-modernisme foto dipandang tidak lagi hanya sebagai medium untuk merekam kenyataan, melainkan sebagai suatu medium kultural yang membawa muatan-muatan ideologis yang sering kali begitu halus dan manipulatif (Setiawan dan Bornok, 2015:31). Begitu pula dalam foto pernikahan yang awalnya berfungsi untuk dokumentasi, kemudian dalam perjalanannya memunculkan tren foto pranikah. Dari yang semula hanya foto, kemudian perlu diadakan video.

Pengembangan ini juga membawa serta berbagai konteks sosial yang lebih besar dari apa yang tersaji, dan menjadi fenomena. Foto menjadi alat perubahan sosial dan kultural. Namun, bukan hanya sebagai produk kultural, fotografi juga kemudian memproduksi kultur. Seperti pada foto pranikah yang sempat diharamkan karena bertentangan dengan ajaran agama, akhirnya memunculkan tren baru foto pranikah muslim. Tidak mau tampil mesra karena merasa belum pantas, kemudian muncul tren post-wedding, yang ujung-ujungnya menampilkan konstruksi-konstruksi identitas.

Dari fenomena foto pranikah, dapat dilihat fotografi semakin dilihat peran dan maknanya secara sosial kultural, dan membawa cara pandang baru bagi masyarakat. Ketika sebuah foto diproduksi, ia akan menjadi produk sosial dari masyarakat tersebut. Sebuah produk yang digunakan untuk mengkomunikasi banyak hal, di antaranya adalah menyampaikan makna-makna, dan kepentingan-kepentingan sosial sesuai dengan latar belakang dan motif pembuatan foto, seperti keinginan pamer, hedonis, pencitraan, minat pribadi dan lain sebagainya.

Memang, foto-foto dalam foto pranikah merupakan representasi kebahagiaan pengantin. Foto-foto sengaja dibuat untuk menyampaikan suatu kesan tertentu tentang kebahagiaan. Yang bisa saja menghadirkan perasaan puas karena mengekspresikan cinta dan estetika fotografis mempelai, bahkan sebelum mereka resmi menikah. Meskipun, tak jarang pula ditampilkan dengan dilebih-lebihkan yang merupakan imajinasi dari pengantin atau dari fotografer. Bahkan, dalam sebuah artikel di New York Post menyebut bahwa tren foto pranikah ini tidak masuk akal karena orang rela menguras tabungan atau berutang demi mewujudkan foto pranikah idaman.

Pada akhirnya foto pranikah membentuk konsumerisme baru di berbagai tingkatan kelas sosial dan menciptakan standar baru dalam budaya pernikahan, yang sebenarnya realitas semu. Sebuah perilaku konsumsi yang kemudian memprovokasi sekaligus mempersuasi orang untuk bertindak, yang selalu dikaitkan dengan hasrat, ilusi, dan kehampaan. Sesuai dengan yang dikatakan oleh Jean Baudrillard, “Orang kehilangan kemampuan untuk membedakan antara kenyataan dan fantasi. Mereka mencari kebahagiaan dan kepuasan melalui simulacra realitas. Mereka juga mulai terlibat dengan fantasi tanpa menyadari apa itu sebenarnya.”